Keberadaan pria setengah wanita (waria)
adalah fenomena yang tak terelakkan dalam kehidupan masyarakat kita saat
ini. Lepas dari sifat pembawaan, mereka sesungguhnya juga tumbuh dari
lingkungan pergaulan yang memang jauh dari nilai-nilai Islam. Oleh
karena itu, tuntunan agama menjadi modal penting bagi kita untuk dapat
menghadapi derasnya arus penyesatan. Lalu bagaimana tuntunan berhijab
bagi wanita di hadapan waria?
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan
kekuasaan-Nya yang maha sempurna menciptakan dua jenis manusia,
laki-laki dan wanita, di mana masing-masingnya memiliki tabiat berbeda.
Secara keumuman dan kewajaran, laki-laki memang diciptakan memiliki
kecenderungan, senang, dan tertarik terhadap wanita. Demikian pula
sebaliknya. Namun ada di antara laki-laki yang memiliki kelainan
sehingga tidak tertarik dan tidak memiliki syahwat terhadap wanita.
Mereka inilah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam firman-Nya:
أَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرِ أُوْلِي اْلإِرْبَةِ مِنَ الرِّجاَلِ
“Atau laki-laki yang mengikuti kalian yang tidak punya syahwat terhadap wanita.” (An-Nur: 31)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah
berkata: “Manusia berbeda pendapat tentang makna firman Allah: (أَوِ
التَّابِعِيْنَ غَيْرِ أُوْلِي اْلإِرْبَةِ مِنَ الرِّجاَلِ). Ada yang
berpendapat: orang itu adalah laki-laki yang pandir/dungu yang tidak
berhajat (tidak berselera) terhadap wanita. Ada yang berpendapat: orang
yang lemah akalnya. Ada pula yang berpendapat: laki-laki yang mengikuti
(tinggal bersama) suatu kaum, makan bersama mereka dan menggantungkan
hidupnya pada mereka, sementara dia punya kelemahan sehingga tidak
menaruh perhatian terhadap wanita dan tidak berselera dengan wanita. Ada
pula yang berpendapat: dia adalah laki-laki yang lemah dzakar1. Yang
lain mengatakan: laki-laki yang dikebiri. Ada yang berkata: dia
mukhannats (banci)2. Namun ada juga yang berpendapat: laki-laki yang tua
renta dan anak kecil yang belum baligh. Perbedaan pendapat ini
sebenarnya menunjukkan makna yang berdekatan (hampir sama), yang intinya
laki-laki yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah yang tidak paham dan
tidak ada keinginan yang membangkitkannya kepada soal wanita.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 12/156)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah
berkata dalam tafsirnya: (أَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرِ أُوْلِي
اْلإِرْبَةِ مِنَ الرِّجاَلِ) yaitu laki-laki yang mengikuti kalian dan
bergantung kepada kalian sementara mereka tidak memiliki syahwat
terhadap wanita seperti orang yang kurang waras yang tidak tahu tentang
keindahan wanita, atau seperti laki-laki yang lemah dzakarnya sehingga
tidak memiliki syahwat sedikitpun, baik pada kemaluannya maupun dalam
hatinya. Laki-laki yang seperti ini keadaannya tidaklah ada kekhawatiran
pada dirinya bila memandang (wanita).” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 566)
Dalam ayat disebutkan lafadz
(التَّابِعِيْنَ) (laki-laki yang mengikuti), dari sini muncul perbedaan
pendapat di kalangan ulama, apakah pengikutan itu merupakan syarat atau
tidak? Di antara mereka ada yang menganggapnya sebagai syarat, sama saja
apakah laki-laki itu merupakan khadim (pembantu), pelayan,
atau orang yang menggantungkan hidupnya (minta makan dan minumnya) pada
suatu kaum. Sehingga dalam hal kebolehan memandang ini, harus terkumpul
dua syarat; laki-laki itu tidak punya syahwat terhadap wanita dan dia
merupakan tabi’ (pembantu, pelayan, atau orang yang bergantung
hidupnya pada keluarga tertentu). Demikian ditunjukkan oleh dzahir ayat:
(أَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرِ أُوْلِي اْلإِرْبَةِ مِنَ الرِّجاَلِ).
Ulama yang lain tidak menganggap
pengikutan sebagai syarat, yang menjadi pegangan hanyalah ketidakadaan
syahwat pada diri seorang laki-laki. Wallahu ta’ala a’lam. (Kitabun Nazhar fi Ahkamin Nazhar bi Hassatil Bashar, hal. 230)
Mukhannats
Mukhannats adalah laki-laki yang menyerupai wanita dalam tingkah laku, ucapan, dan gerakannya (Syarah Shahih Muslim 14/163, Fathul Bari 9/404). Karena mukhannats ini terhitung laki-laki yang tidak memiliki syahwat terhadap wanita, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada awalnya tidak melarangnya masuk menemui istri-istri beliau, ummahatul mukminin.
Aisyah radhiallahu ‘anha berkisah:
كاَنَ يَدْخُلُ عَلَى أَزْوَاجِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُخَنَّثٌ. فَكاَنُوْا يَعُدَّوْنَهُ مِنْ
غَيْرِ أُولىِ اْلإِرْبَةِ. فََدَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَوْماً وَهُوَ عِنْدَ بَعْضِ نِساَئِهِ. وَهُوَ يَنْعَتُ
امْرَأَةً. قاَلَ: إِذَا أَقْبَلَتْ أقْبَلَتْ بِأَرْبَعٍ، وَإِذَا
أَدْبَرَتْ أَدْبَرَتْ بِثَماَنٍ. فَقاَلَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلّمَ: أَلاَ أَرَى هَذَا يَعْرِفُ ماَ هاَهُناَ، لاَ يَدْخُلَنَّ
عَلَيْكُنَّ. قاَلَتْ: فَحَجَبُوْهُ
“Dulunya ada seorang mukhannats biasa
masuk menemui istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena
mereka menduganya termasuk laki-laki yang tidak memiliki syahwat
terhadap wanita. Maka suatu hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
masuk ke rumah, sementara mukhannats ini berada di sisi sebagian istri
beliau dalam keadaan ia sedang mensifatkan seorang wanita. “Wanita itu
bila menghadap, menghadap dengan empat3 dan bila membelakang,
membelakang dengan delapan4″, katanya. Mendengar ucapannya yang demikian
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku semula tidak
berpandangan orang ini tahu perkara wanita sampai seperti itu. Sama
sekali ia tidak boleh lagi masuk menemui kalian”. Kata Aisyah
radhiallahu ‘anha: “Mereka pun berhijab darinya.” (HR. Muslim no. 2181)
Ummu Salamah radhiallahu ‘anha bertutur: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumahku sementara di sisiku ada seorang mukhannats. Aku mendengar mukhannats
itu berkata kepada Abdullah bin Abi Umayyah (saudara laki-laki Ummu
Salamah, pen.): “Wahai Abdullah! Jika besok Allah membukakan/memenangkan
Thaif5 untuk kalian, maka hendaklah engkau berupaya dengan
sungguh-sungguh untuk mendapatkan putri Ghailan6, karena dia menghadap
dengan empat dan membelakangi dengan delapan”. Ucapannya yang demikian
didengar oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau pun menetapkan:
لاَ يَدْخُلَنَّ هَؤُلاَءِ عَلَيْكُنَّ
“Mereka (mukhannats) itu sama sekali tidak boleh masuk menemui kalian lagi.” (HR. Al-Bukhari no. 4324 dan Muslim no. 21807)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Masuknya mukhannats ini pada awalnya menemui ummahatul mukminin telah diterangkan sebabnya di dalam hadits, yaitu mereka meyakini mukhannats ini termasuk lelaki yang tidak memiliki syahwat terhadap wanita sehingga ia boleh masuk menemui mereka. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar ucapan yang demikian darinya, tahulah beliau mukhannats ini ternyata punya syahwat terhadap wanita8, beliau pun melarangnya masuk ke tempat istri-istri beliau. Hadits ini menunjukkan dilarangnya mukhannats masuk ke tempat para wanita dan para wanita dilarang menampakkan perhiasan mereka di hadapannya. Hadits ini pun menerangkan mukhannats hukumnya sama dengan laki-laki (yang jantan/gagah, tidak kewanita-wanitaan) yang senang dan berselera terhadap wanita, demikian pula hukum lelaki yang dikebiri dan dipotong dzakarnya, wallahu a’lam.” (Syarah Shahih Muslim, 14/163)
Al-Muhallab rahimahullah berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghalangi mukhannats ini untuk masuk menemui para wanita (yang bukan mahramnya, pen.)
ketika beliau mendengar ia menggambarkan ciri-ciri seorang wanita
dengan penggambaran yang dapat membangkitkan gejolak dan gelora di dalam
hati laki-laki. Maka beliau pun melarangnya masuk menemui istri-istri
beliau agar jangan sampai si mukhannats ini menceritakan
tentang mereka kepada manusia (laki-laki) sehingga gugurlah makna hijab
(tidak ada lagi artinya berhijab dari laki-laki non mahram, pen.) (Fathul Bari, 9/406)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah
berkata: “Diambil faedah dari hadits ini agar para wanita berhijab dari
orang-orang (laki-laki) yang memahami keindahan-keindahan mereka.” (Fathul Bari, 9/406)
Hukum Berpenampilan dan Berperilaku seperti Lawan Jenis
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِيْنَ مِنَ الرِّجاَلِ بِالنِّساَءِ،
وَالْمُتَشَبِّهاَتِ مِنَ النِّساَءِ بِالرِّجاَلِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Al-Bukhari no. 5885, 6834)
Ath-Thabari rahimahullah memaknai sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
di atas dengan ucapan: “Tidak boleh laki-laki menyerupai wanita dalam
hal pakaian dan perhiasan yang khusus bagi wanita. Dan tidak boleh pula
sebaliknya (wanita menyerupai laki-laki).” Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah
menambahkan: “Demikian pula meniru cara bicara dan berjalan. Adapun
dalam penampilan/bentuk pakaian maka ini berbeda-beda dengan adanya
perbedaan adat kebiasaan pada setiap negeri. Karena terkadang suatu kaum
tidak membedakan model pakaian laki-laki dengan model pakaian wanita
(sama saja), akan tetapi untuk wanita ditambah dengan hijab. Pencelaan
terhadap laki-laki atau wanita yang menyerupai lawan jenisnya dalam
berbicara dan berjalan ini, khusus bagi yang sengaja. Sementara bila hal
itu merupakan asal penciptaannya maka ia diperintahkan untuk memaksa
dirinya agar meninggalkan hal tersebut secara berangsur-angsur. Bila hal
ini tidak ia lakukan bahkan ia terus tasyabbuh dengan lawan
jenis, maka ia masuk dalam celaan, terlebih lagi bila tampak pada
dirinya perkara yang menunjukkan ia ridla dengan keadaannya yang
demikian.” Al-Hafidz rahimahullah mengomentari pendapat Al-Imam An-Nawawi rahimahullah yang menyatakan mukhannats yang memang tabiat/asal penciptaannya demikian, maka celaan tidak ditujukan terhadapnya, maka kata Al-Hafidz rahimahullah,
hal ini ditujukan kepada mukhannats yang tidak mampu lagi meninggalkan
sikap kewanita-wanitaannya dalam berjalan dan berbicara setelah ia
berusaha menyembuhkan kelainannya tersebut dan berupaya meninggalkannya.
Namun bila memungkinkan baginya untuk meninggalkan sifat tersebut
walaupun secara berangsur-angsur, tapi ia memang enggan untuk
meninggalkannya tanpa ada udzur, maka ia terkena celaan.” (Fathul Bari, 10/345)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah memang menyatakan: “Ulama berkata, mukhannats itu ada dua macam.
Pertama: hal itu memang
sifat asal/pembawaannya bukan ia bersengaja lagi memberat-beratkan
dirinya untuk bertabiat dengan tabiat wanita, bersengaja memakai pakaian
wanita, berbicara seperti wanita serta melakukan gerak-gerik wanita.
Namun hal itu merupakan pembawaannya yang Allah Subhanahu wa Ta’ala memang menciptakannya seperti itu. Mukhannats yang seperti ini tidaklah dicela dan dicerca bahkan tidak ada dosa serta hukuman baginya karena ia diberi udzur disebabkan hal itu bukan kesengajaannya. Karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada awalnya tidak mengingkari masuknya mukhannats
menemui para wanita dan tidak pula mengingkari sifatnya yang memang
asal penciptaan/pembawaannya demikian. Yang beliau ingkari setelah itu
hanyalah karena mukhannats ini ternyata mengetahui sifat-sifat
wanita (gambaran lekuk-lekuk tubuh wanita) dan beliau tidak mengingkari
sifat pembawaannya serta keberadaannya sebagai mukhannats.
Kedua: mukhannats
yang sifat kewanita-wanitaannya bukan asal penciptaannya bahkan ia
menjadikan dirinya seperti wanita, mengikuti gerak-gerik dan penampilan
wanita seperti berbicara seperti mereka dan berpakaian dengan pakaian
mereka. Mukhannats seperti inilah yang tercela di mana disebutkan laknat terhadap mereka di dalam hadits-hadits yang shahih.
Adapun mukhannats jenis pertama tidaklah terlaknat karena seandainya ia terlaknat niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkannya pada kali yang pertama, wallahu a’lam.” (Syarah Shahih Muslim, 14/164)
Namun seperti yang dikatakan Al-Hafidz rahimahullah, mukhannats
jenis pertama tidaklah masuk dalam celaan dan laknat, apabila ia telah
berusaha meninggalkan sifat kewanita-wanitaannya dan tidak menyengaja
untuk terus membiarkan sifat itu ada pada dirinya.
Dalam Sunan Abu Dawud dibawakan hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةُ
تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang
memakai pakaian laki-laki.” (HR. Abu Dawud no. 3575. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata: Hadits ini hasan dengan syarat Muslim).
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam kitab Al-Jami’ush Shahih (3/92) menempatkan hadits ini dalam kitab An-Nikah wath Thalaq, bab Tahrimu Tasyabbuhin Nisa’ bir Rijal (Haramnya Wanita Menyerupai Laki-Laki), dan beliau membawakannya kembali dalam kitab Al-Libas, bab Tahrimu Tasyabbuhir Rijal bin Nisa’ wa Tasyabbuhin Nisa’ bir Rijal (Haramnya Laki-Laki Menyerupai Wanita dan Wanita Menyerupai Laki-Laki) (4/314).
Dalam masalah laki-laki menyerupai wanita ini, Al-Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala
menciptakan laki-laki dan perempuan di mana masing-masingnya Dia
berikan keistimewaan. Laki-laki berbeda dengan wanita dalam penciptaan,
watak, kekuatan, agama dan selainnya. Wanita demikian pula berbeda
dengan laki-laki. Siapa yang berusaha menjadikan laki-laki seperti
wanita atau wanita seperti laki-laki, berarti ia telah menentang Allah
dalam qudrah dan syariat-Nya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala
memiliki hikmah dalam apa yang diciptakan dan disyariatkan-Nya. Karena
inilah terdapat nash-nash yang berisi ancaman keras berupa laknat, yang
berarti diusir dan dijauhkan dari rahmat Allah, bagi laki-laki yang
menyerupai (tasyabbuh) dengan wanita atau wanita yang tasyabbuh dengan laki-laki. Maka siapa di antara laki-laki yang tasyabbuh dengan wanita, berarti ia terlaknat melalui lisan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula sebaliknya….” (Syarah Riyadhish Shalihin, 4/288)
Dan hikmah dilaknatnya laki-laki yang tasyabbuh dengan wanita dan sebaliknya, wanita tasyabbuh dengan laki-laki, adalah karena mereka keluar/menyimpang dari sifat yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan untuk mereka. (Fathul Bari, 10/345-346)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Apabila seorang laki-laki tasyabbuh dengan wanita dalam berpakaian, terlebih lagi bila pakaian itu diharamkan seperti sutera dan emas, atau ia tasyabbuh
dengan wanita dalam berbicara sehingga ia berbicara bukan dengan
gaya/cara seorang lelaki (bahkan) seakan-akan yang berbicara adalah
seorang wanita, atau ia tasyabbuh dengan wanita dalam cara
berjalannya atau perkara lainnya yang merupakan kekhususan wanita, maka
laki-laki seperti ini terlaknat melalui lisan makhluk termulia
(Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen.). Dan kita pun melaknat orang yang dilaknat oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Syarah Riyadhish Shalihin, 4/288)
Perbuatan menyerupai lawan jenis secara sengaja haram hukumnya dengan kesepakatan yang ada (Fathul Bari, 9/406) dan termasuk dosa besar, karena Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu dan selainnya mengatakan: “Dosa besar adalah semua perbuatan maksiat yang ditetapkan hukum had-nya
di dunia atau diberikan ancaman di akhirat.” Syaikhul Islam
menambahkan: “Atau disebutkan ancaman berupa ditiadakannya keimanan
(bagi pelakunya), laknat9, atau semisalnya.” (Mukhtashar Kitab Al-Kabair, Al-Imam Adz-Dzahabi, hal. 7)
Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu memasukkan perbuatan ini sebagai salah satu perbuatan dosa besar dalam kitab beliau yang masyhur Al-Kabair, hal. 145.
Adapun sanksi/hukuman yang diberikan kepada pelaku perbuatan ini adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الْمُخَنَّثِيْنِ مِنَ الرِّجاَلِ، وَالْمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ
النِّساَءِ، وَقاَلَ: أَخْرِجُوْهُمْ مِنْ بُيُوْتِكُمْ. قاَلَ: فَأَخْرَجَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فُلاَناً وَأَخْرَجَ عُمَرُ
فُلاَنَةً
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melaknat laki-laki yang menyerupai wanita (mukhannats) dan wanita yang
menyerupai laki-laki (mutarajjilah10). Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Keluarkan mereka (usir) dari rumah-rumah kalian”.
Ibnu Abbas berkata: “Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
mengeluarkan Fulan (seorang mukhannats) dan Umar mengeluarkan Fulanah
(seorang mutarajjilah).” (HR. Al-Bukhari no. 5886)
Hadits ini menunjukkan disyariatkannya
mengusir setiap orang yang akan menimbulkan gangguan terhadap manusia
dari tempatnya sampai dia mau kembali dengan meninggalkan perbuatan
tersebut atau mau bertaubat. (Fathul Bari, 10/347)
Mereka harus diusir dari rumah-rumah dan daerah kalian, kata Al-Qari. (‘Aunul Ma’bud, 13/189)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan: Ulama berkata: “Dikeluarkan dan diusirnya mukhannats ada tiga makna:
Salah satunya,
sebagaimana tersebut dalam hadits yaitu mukhannats ini disangka termasuk
laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita tapi ternyata ia
punya syahwat namun menyembunyikannya.
Kedua: ia menggambarkan wanita, keindahan-keindahan mereka dan aurat mereka di hadapan laki-laki sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah melarang seorang wanita menggambarkan keindahan wanita lain di
hadapan suaminya, lalu bagaimana bila hal itu dilakukan seorang lelaki
di hadapan lelaki?
Ketiga: tampak bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari mukhannats
ini bahwa dia mencermati (memperhatikan dengan seksama) tubuh dan aurat
wanita dengan apa yang tidak dicermati oleh kebanyakan wanita. Terlebih
lagi disebutkan dalam hadits selain riwayat Muslim bahwa si mukhannats ini mensifatkan/menggambarkan wanita dengan detail sampai-sampai ia menggambarkan kemaluan wanita dan sekitarnya, wallahu a’lam.” (Syarah Shahih Muslim, 14/164)
Bila penyerupaan tersebut belum sampai pada tingkatan perbuatan keji yang besar seperti si mukhannats berbuat mesum (liwath/homoseks) dengan sesama lelaki sehingga lelaki itu ‘mendatanginya’ pada duburnya atau si mutarajjilah
berbuat mesum (lesbi) dengan sesama wanita sehingga keduanya saling
menggosokkan kemaluannya, maka mereka hanya mendapatkan laknat dan
diusir seperti yang tersebut dalam hadits di atas. Namun bila sampai
pada tingkatan demikian, mereka tidak hanya pantas mendapatkan laknat
tapi juga hukuman yang setimpal11. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengeluarkan mukhannats dari rumah-rumah kaum muslimin agar perbuatan tasyabbuhnya
(dengan wanita) itu tidak mengantarkannya untuk melakukan perbuatan
yang mungkar tersebut (melakukan homoseks)12. Demikian dikatakan Ibnu
At-Tin rahimahullahu seperti dinukil Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu (Fathul Bari, 10/345).
Kesimpulan: hukum mukhannats memandang wanita ajnabiyyah (non mahram)
Dalam hal ini, fuqaha terbagi dua pendapat:
Pertama: mukhannats dihukumi sama dengan laki-laki jantan yang berselera terhadap wanita. Demikian pendapat madzhab Al-Hanafiyyah terhadap mukhannats yang bersengaja tasyabbuh
dengan wanita padahal memungkinkan bagi dirinya untuk merubah sifat
kewanita-wanitaannya tersebut. Sebagian Al-Hanafiyyah juga memasukkan mukhannats yang tasyabbuh
dengan wanita karena asal penciptaannya walaupun ia tidak berselera
dengan wanita, demikian pula pendapat Asy-Syafi’iyyah. Adapun madzhab
Al-Hanabilah berpandangan bahwa mukhannats yang memiliki
syahwat terhadap wanita dan mengetahui perkara wanita maka hukumnya sama
dengan laki-laki jantan (tidak kewanita-wanitaan) bila memandang
wanita.
Dalil yang dipegangi oleh pendapat pertama ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ أَبْصاَرِهِمْ
“Katakanlah kepada kaum mukminin, hendaklah mereka menundukkan pandangan mata mereka….” (An-Nur: 30)
Adapun dalil yang mereka pegangi dari As Sunnah adalah hadits Ummu Salamah dan hadits Aisyah radhiallahu ‘anhuma tentang mukhannats yang menggambarkan tubuh seorang wanita di hadapan laki-laki sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mukhannats ini masuk menemui istri-istri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua: mereka berpandangan bahwa mukhannats yang tasyabbuh dengan wanita karena memang asal penciptaannya demikian (tidak bersengaja tasyabbuh dengan wanita) dan ia tidak berselera/bersyahwat dengan wanita, bila ia memandang wanita ajnabiyyah
maka hukumnya sama dengan hukum seorang lelaki bila memandang
mahram-mahramnya. Sebagian Al-Hanafiyyah berpendapat boleh membiarkan mukhannats
yang demikian bersama para wanita. Namun si wanita hanya boleh
menampakkan tubuhnya sebatas yang dibolehkan baginya untuk
menampakkannya di hadapan mahram-mahramnya dan si mukhannats
sendiri boleh memandang wanita sebatas yang diperkenankan bagi seorang
lelaki untuk memandang wanita yang merupakan mahramnya. Demikian yang
terkandung dari pendapat Al-Imam Malik rahimahullahu dan pendapat Al-Hanabilah.
Dalil mereka adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
أَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرِ أُوْلِي اْلإِرْبَةِ مِنَ الرِّجاَلِ
“atau laki-laki yang mengikuti kalian yang tidak punya syahwat terhadap wanita.”
Di antara ulama salaf ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan:
غَيْرِ أُوْلِي اْلإِرْبَةِ
(yang tidak punya syahwat terhadap wanita) adalah mukhannats yang tidak berdiri kemaluannya.
Dari As Sunnah, mereka berdalil dengan hadits Aisyah radhiallahu ‘anha (yang juga menjadi dalil pendapat pertama). Dalam hadits Aisyah ini diketahui bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada awalnya membolehkan mukhannats
masuk menemui istri-istri beliau karena menyangka ia termasuk laki-laki
yang tidak bersyahwat terhadap wanita. Namun ketika beliau mendengar mukhannats
ini tahu keadaan wanita dan sifat mereka, beliau pun melarangnya masuk
menemui istri-istri beliau karena ternyata ia termasuk laki-laki yang
berselera dengan wanita.
Inilah pendapat yang rajih, insya Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Adapun bila si mukhannats punya syahwat terhadap wanita, maka hukumnya sama dengan laki-laki jantan yang memandang wanita ajnabiyyah. (Fiqhun Nazhar, hal. 172-176)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Footnote:
1 Seperti pendapat Mujahid rahimahullahu (Tafsir Ibnu Katsir, 5/402)
2 Kata ‘Ikrimah rahimahullahu: “Dia adalah mukhannats yang tidak bisa berdiri dzakarnya. (Tafsir Ibnu Katsir, 5/402). Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan: “Dia adalah laki-laki yang tidak memiliki syahwat terhadap wanita.”
3 Yakni dengan empat lekukan pada perutnya.
4 Ujung lekukan itu sampai ke
pinggangnya, pada masing-masing sisi (pinggang) empat sehingga dari
belakang terlihat seperti delapan. Al-Khaththabi rahimahullahu menjelaskan: “Mukhannats
ini hendak mensifatkan putri Ghailan itu besar badannya, di mana pada
perutnya ada empat lipatan dan yang demikian itu tidaklah didapatkan
kecuali pada wanita-wanita yang gemuk. Secara umum, laki-laki biasanya
senang dengan wanita yang demikian sifatnya.” (Fathul Bari, 9/405)
5 Thaif adalah negeri besar terletak di
sebelah timur Makkah sejarak 2-3 hari perjalanan. Negeri ini terkenal
memiliki banyak pohon anggur dan kurma (Fathul Bari, 8/54-55). Ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengepung Thaif.
6 Ghailan bin Salamah Ats-Tsaqafi salah
seorang tokoh/pemimpin Bani Tsaqif, yang mendiami Thaif. Pada akhirnya
ia masuk Islam dan ketika itu ia memiliki 10 istri, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk memilih 4 di antaranya dan menceraikan yang lainnya. (Fathul Bari, 9/405)
7 Hadits-hadits seperti ini diberi judul oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu, dalam syarahnya terhadap Shahih Muslim, bab Larangan bagi mukhannats untuk masuk menemui wanita-wanita ajnabiyyah (bukan mahramnya dengan tanpa hijab, pen.)
8 Tidak termasuk laki-laki yang disebutkan dalam ayat:
أَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرِ أُوْلِي اْلإِرْبَةِ مِنَ الرِّجاَلِ
“Atau laki-laki yang mengikuti kalian yang tidak punya syahwat terhadap wanita.”
9 Dan dalam hal ini terdapat hadits yang
berisi laknat bagi laki-laki yang menyerupai wanita dan sebaliknya,
wanita menyerupai laki-laki.
10 Al-Mutarajjilah yaitu wanita
yang menyerupai laki-laki dalam hal pakaian, penampilan, cara berjalan,
mengangkat suara (cara bicara), dan semisalnya. Bukan penyerupaan dalam
pendapat/pikiran/pertimbangan, dan ilmu. Karena menyerupai laki-laki
dalam masalah ini adalah terpuji, sebagaimana diriwayatkan bahwa
pendapat/pikiran/pertimbangan Aisyah radhiallahu ‘anha seperti laki-laki. (‘Aunul Ma’bud, 13/189)
11 Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu berkata: “Ulama berselisih pendapat tentang hukuman bagi orang yang berbuat liwath. Yang paling shahih dari pendapat yang ada, hukumannya dibunuh, baik subyeknya (fa’il) maupun obyeknya (maf’ul) bila keduanya telah baligh.” (Ijabatus Sail, hal. 362)
12 Para mukhannats yang ada di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mereka tidaklah tertuduh melakukan perbuatan keji yang besar, hanya
saja kewanita-wanitaan mereka tampak dari ucapan mereka yang
lunak/lembut mendayu, mereka memacari tangan dan kaki mereka seperti
halnya wanita, dan berkelakar seperti kelakarnya wanita. (‘Aunul Ma’bud, 13/189)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar